Kau memiiki hak sahabatku. Hak untuk
memperjuangan siapa yang berhak menjadi sahabatmu. Hak untuk memutuskan siapa
yang pantas untuk tetap menjadi sahabat. Hak untuk meninggalkan yang memang
tidak layak untuk bersahabat. Karna dengan siapapun kau bersahabat kau pasti
akan banyak menghabiskan waktu dengannya. Saling berdiskusi bertukar pikiran,
saling berbagi dalam bahagia maupun kesedihan, bahkan sampai aib dirimu sendiri
akan kau ceritakan. Tak ada yang tertutupi bahkan untuk saling menjatuhkan. Semuanya begitu melekat seperti tinta dan kertas yang tak bisa
terpisahkan.
Kini aku menyadari bahwa yang kau
butuhkan adalah sahabat yang sama-sama ingin berjuang. Berjuang dalam ketaatan.
Bersemayam dijalan skenario-Nya yang tidak bisa untuk diterpa. Persahabatan
yang dibalut dengan cinta dan kasih sayang yang suci. Kesempurnaan dari setiap
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Persahabatan yang kokoh walau seterjal
apapun angin yang menghempas kencang untuk merobohkan. Persahabatan yang
menggenggam erat nilai islam. Persahabatan yang menimbulkan sikap ingin
memiliki seutuhnya. Terutama persahabatan yang ingin tetap kau jalin bukan
hanya didunia melainkan akan terus bersama dalam kenikmatan surga-Nya.
Terkadang diri ini malu. Diri ini
merasa ingin jauh, tenggelam dalam peradaban kehidupanmu. Pantaskah aku
bersahabat denganmu? Wahai diri ini yang masih jauh dari jalan lurus-Nya.
Namun dalam naluriku berkata “tetaplah aku menjadi sahabatmu”. Aku yang
banyak memberikan aroma tak sedap dalam perjalanan kita. Sikap dan tingkahku
yang lebih jauh berbeda dengan kalian sahabatku. Kau yang selalu menarik ulur
tangan ini ketika menjauh. Dirimupun yang tak pernah bosan untuk mengingatkan
aku kembali kepada-Nya. Setiap perjumpaan yang kita lalui selalu terselip nasihat
yang menyentuh untuk disadari. Bahwa kau begitu sangat peduli akan diriku ini
melebihi kasih orang tuaku sendiri. Bahwa kaulah yang justru lebih sibuk
memperhatikan kehidupan akhiratku nanti.
Kau yang memperdulikan diriku dengan
caramu. Kau yang menampar aku dengan kalimat-kalimat baikmu. Itu semua kau
lakukan sebagai pembuktian ketulusan hatimu bersahabat denganku.
Namun yang sangat aku sesali, aku
baru menyadarinya disaat perlahan dari kita menjauh. Disaat kesibukan yang tak
menentu kapan berujung. Perlahan kedekatan itu seperti langit dan bumi.
Bagaikan teknologi cangih tanpa koneksi sehebat apapun tak akan bisa bertemu.
Wahai sahabat remajaku.
Hari ini aku termenung. Membaca
setiap kata demi kata yang indah terurai oleh sahabatmu. Aku bahagia dengan
lingkaran yang kau pegang begitu erat. Begitu indah dipandang dan hangat
dirasakan walau aku tak berada dalam lingkaran itu. Anggunnya dirimu dengan
pakaian takwamu. Mempesonanya elok rupamu yang indah bagai bidadari. Wajah yang
bersinar berseri-seri terpancar dalam kesederhanaan.
Duhai sahabat remajaku.
Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri. Jangan biarkan aku
melangkah sendirian dijalan ini. Aku menginginkan kalian untuk saat ini dan
seterusnya. Aku berharap untuk tidak saling manjauhi. Aku menyadari kaulah yang
sesungguhnya sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Bahkan aku ingini
persahabatan ini tetap milik kita bersama. Hanya kalianlah sahabat yang
mengerti. Yang sama-sama ingin berjuang terus berjuang hingga rido-Nya yang
didapat.
Biarpun jarak dan waktu memisahkan kita. Aku mohon
sisakanlah ruang untuk menjadikan aku sahabatmu. Betapa rindu ini mengebu tak
terbendung ingin diluapkan. Namun rencana-Nya lebih indah untuk mempertemukan
kita.
Sahabat remajaku.
Aku harap kau masih setia menunggu aku disini untuk
bersamamu.
Aku harap kau masih ingat akan kenangan manis kita saat
pertama bertemu.
Aku harap kau masih mengulurkan tanganmu untuk selalu
membantu.
Aku selalu rindukan sosok sahabat sepertimu. Selamanya
ingin selalu bersahabat denganmu.
Caringin, 2 Februari 2016
Siti Aisyah
Komentar
Posting Komentar